8/30/2006

Sehelai Pelangi

(catatan kecil buat Lilis Sofiani)

Sehelai pelangi sejati hanyalah ruang tanpa warna
tak ada biru ataupun jingga
apalagi sampai tujuh warna

Maka terimalah, kekasih
bingkisan tanpa warna
atau pita menyulam sampulnya
Sebab yang sejati adalah tak berwarna
tak bisa terlihat ujung batasnya

Kalau Kau simpan dalam kotak kaca tembus pandang
atau sekedar kau letakkan di atas meja,
maka seolah tak ada apa-apa di sana
bahkan bayangan pun kehilangan jejaknya.
Karena hanya satu ruang saja yang pantas menyimpannya.

Di sana dapat Kau rasakan ia hadir, lewat
darahmu yang berdesir sepanjang aliran, bersama degup
jantungmu yang berdebar kencang, atau berbisik diantara nafasmu
di tiap helaan.

Dan di sana, di ruang hatimu, Sayangku,
ia akan menampakkan warna yang sesungguhnya,
warna yang selalu dapat Kau baca sebagai penjelmaan
cinta.

Ia akan tetap ada di sana selama kau ada
Karena sehelai pelangi sejati tak juga akan hilang
meski jauh sudah jarak hujan, dan langit
mulai terang.

Jakarta, 2006

8/29/2006

Surat buat Isteriku (1)

Sebuah Rumah di Puncak Bukit Kecil

Kalau Kau berjalan melalui jalan yang biasa aku lewati, maka di suatu tempat akan Kau temukan sebuah bukit kecil. Dan di puncak bukit kecil itu, Kau akan melihat sebuah rumah berdiri indah.

Rumah itu sedang-sedang saja ukurannya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Sehingga sangat pas untuk ditempati sebuah keluarga dengan dua atau tiga orang anak. Dinding dan atapnya berwarna sangat serasi: kuning muda dan hijau kotoran kuda.

Di seputar rumah berpagar setinggi satu meter itu, terdapat halaman yang cukup luas. Halaman depannya ditanami berbagai macam bunga. Halaman sampingnya, di kiri dan di kanan, ditanami berbagai tanaman sayuran. Ada jalan setapak menghubungkan halaman depan dengan halaman belakang yang luas. Beberapa pohon buah-buahan setinggi atap rumah tumbuh rindang di halaman belakang. Sebuah kursi taman tampak sangat serasi di tepi kolam kecil, di bawah pohon rambutan.

Rumah itu sendiri punya tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang duduk keluarga, satu ruang shalat, satu ruang kerja, satu perpustakaan, satu dapur, serta dua kamar mandi. "Ruang makan" berhadapan dengan dapur, menghadap kolam kecil di halaman belakang. Sangat nyaman rasanya, sarapan pagi sambil memperhatikan ikan-ikan mas dan nila berkeliling di dalam kolam. Atau makan malam sambil bermandikan cahaya bulan yang menerangi halaman belakang. Diiringi suara gemericik air dari air terjun mini di sekitar kolam. Sebab, yang kusebut sebagai ruang makan di sini, adalah area yang separuhnya ada di bawah atap rumah, bersambung dengan dapur, dan separuhnya lagi berada di luar, tanpa atap permanen. Dinding kaca tembus pandang memisahkan dua ruangan ini.

Masih banyak lagi cerita menyenangkan tentang rumah itu. Tak akan habisnya bila harus kuceritakan padamu. Hanya, ada satu kelemahannya: rumah itu masih berada di puncak bukit, di suatu tempat yang bisa terlihat dari jalan yang biasa aku lewati.

Memang, bukit itu tak terlalu tinggi, tapi tetap saja tidak mudah bagiku untuk mendaki hingga puncaknya. Hingga kini, aku belum pernah mencapai puncak bukit itu. Padahal, itu adalah salah satu impian terbesarku. Bukannya aku tak pernah mencoba mencapainya, tapi mungkin aku memang masih harus bersabar lagi. Lagipula aku khawatir, bila saat ini aku sudah sampai di puncak bukit itu, maka tak ada lagi puncak-puncak lain yang menghiasi ruang mimpiku. Bukankah setelah puncak, tak ada lagi yang lain selain arah yang menurun?

Biarlah suatu saat saja aku gapai puncak bukit itu lalu memasuki rumah yang ada di sana. Aku yakin suatu saat hal itu akan terwujud. Dan aku berharap Kekasih, aku akan melakukannya bersamamu. Selama saat itu belum tiba, aku juga berharap Kau tak akan bosan menemaniku berjalan (walau kadang pelan) menuju rumah di puncak bukit kecil itu. Biarpun terkadang harus melewati jalan berkerikil tajam, atau menjumpai tikungan yang tiba-tiba menghadang, aku yakin akan mampu mengatasinya, selama Kau bersedia menemaniku berjalan. Dan kita akan tetap berjalan berdampingan, bergandengan tangan, karena Kau dan aku punya satu impian.

paham

Berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi kita untuk memahami orang lain? Seminggu? Dua minggu? Atau kita tak akan pernah bisa memahami orang lain?
Dua hari yang lalu, aku dan isteriku pergi ke rumah orang tuaku. Kami menghabiskan waktu dengan perasaan senang di sana. Apalagi di sana sedang ada acara panggung gembira menyambut perayaan tujuhbelasan. Suasana menyenangkan terus ada, hingga saat kami pulang ke Serpong.
Sepanjang perjalanan, semua berjalan biasa saja, bahkan kami sempat mampir di pasar Ciputat untuk membeli oleh-oleh.
Kemudian, ketika hampir sampai di rumah, pertengkaran itu terjadi. Saat melewati salah satu rumah, kami mendengar sorak sorai penghuni rumah. Aku menyangka bahwa mereka bersorak karena kesebelasan Indonesia memasukkan gol ke gawang lawan (ada siaran langsung di televisi). Saat itu juga aku berseru, "Tuh 'kan. Pasti gol neh."
Kemudian kami menyadari bahwa mereka bersorak karena sedang ada perayaan ulang tahun. Langsung saja isteriku menepuk bagian depan topiku dan membuatku terkejut.
"Lho, apa-apaan sih?" sergahku tak senang.
"Habis, ka'A nyalahin elist...," jawabnya.
Padahal, aku sama sekali tak menyalahkan siapa-siapa. Tapi isteriku berpikir bahwa aku sedang menyalahkan dirinya saat aku berseru.
Habislah sudah kegembiraan selama dua hari kemarin. Perasaan senang yang selama dua hari singgah di ruang hati, mendadak lenyap meninggalkan jejak-jejak kejengkelan yang ternyata tak mudah terhapuskan hingga keesokan harinya.
Kenapa begitu mudah kami bertengkar? Pastilah karena kami belum saling memahami dengan baik. Isteriku masih belum memahami suasana hatiku dengan mendengar nada suaraku. Tentu saja itu tak bisa disalahkan, sebab akupun punya kelemahan yang serupa. Aku belum bisa memahami bahwa isteriku ternyata sangat sensitif saat mendengar kata-kataku. Sedikit saja aku keras bicara (walau hanya ungkapan yang belum tentu aku tujukan padanya), maka isteriku akan merasa bahwa dia sedang kujadikan obyek penderita. Padahal, kami sudah hampir dua tahun tinggal bersama. Anggapan bahwa kami sudah saling memahami, ternyata masih jauh dari kebenaran.
Lalu, kapan kami akan saling memahami? Sulit menjawabnya. Sebab pemahaman kita pada orang lain bukan hanya bergantung pada berapa lama kita mengenal seseorang. Kemampuan kita memahami orang lain, akan sangat bergantung pada waktu, tempat, dan bahkan suasana hati. Walaupun kita sudah merasa mampu memahami orang lain karena sudah mengenalnya dalam waktu lama, ternyata kemampuan itu bisa hilang begitu saja, bahkan ketika suasana hati kita sedang senang. Kalau ini yang terjadi, maka pertengkaranlah yang akan timbul.
Barangkali karena manusia memang harus berbeda. Kita mungkin akan hidup lebih harmonis jika mampu saling memahami. Tapi itu berarti penyangkalan terhadap ego diri, kesediaan mengalah, dan kemampuan menahan diri untuk tidak mengoreksi kesalahan orang lain secara langsung. Padahal, secara fitrah, manusia adalah produk unggul hasil seleksi alam. Kita telah mampu mengatasi persaingan di alam sebelum lahir (ketika jutaan sel sperma memperebutkan hanya satu saja sel telur). Perasaan unggul ini akan terus terbawa hingga kita mati. Maka, akan sulit bagi siapapun untuk mengakui keunggulan orang lain, termasuk mengakui kegagalan kita sendiri untuk memahami orang lain.
Atau kemampuan memahami orang lain ini juga bergantung pada usia kita ? Apakah bertambahnya umur membuat kita makin mampu memahami orang lain? Ah, bukankah sudah aku jelaskan tadi, bahwa ini tidak hanya bergantung pada satu faktor saja. Yang jelas, kita bisa memilih. Kita bisa memilih suasana seperti apa yang kita inginkan, lalu menyesuaikannya dengan sikap kita untuk menerima orang lain dan menekan ego kita sendiri.
Kalau ini benar, berarti akan terus ada pertengkaran di antara manusia. Kalau hanya pertengkaran kecil, tak apa. Malah bisa jadi bumbu dinamika hidup ini.
Allahu'alam.

Salam Pembuka

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ini adalah salam pembuka. Pembuka bagi percakapan-percakapan selanjutnya. Karena semua berawal dari kata, dan tak ada kata awal terbaik selain salam pembuka. Bukankah salam berasal dari bahasa arab yang berarti damai? Salam, yang membuat kita teringat dengan kata selamat. Salam berarti menebar kedamaian, berdamai dengan segala yang ada, meski bukan berarti mengabaikan kekeliruan yang ada.
Kata-kata selanjutnya hanyalah wujud dari salam ini juga. Tulisan yang akan mencoba merangkai kata-kata penebar salam.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh