8/29/2006

paham

Berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi kita untuk memahami orang lain? Seminggu? Dua minggu? Atau kita tak akan pernah bisa memahami orang lain?
Dua hari yang lalu, aku dan isteriku pergi ke rumah orang tuaku. Kami menghabiskan waktu dengan perasaan senang di sana. Apalagi di sana sedang ada acara panggung gembira menyambut perayaan tujuhbelasan. Suasana menyenangkan terus ada, hingga saat kami pulang ke Serpong.
Sepanjang perjalanan, semua berjalan biasa saja, bahkan kami sempat mampir di pasar Ciputat untuk membeli oleh-oleh.
Kemudian, ketika hampir sampai di rumah, pertengkaran itu terjadi. Saat melewati salah satu rumah, kami mendengar sorak sorai penghuni rumah. Aku menyangka bahwa mereka bersorak karena kesebelasan Indonesia memasukkan gol ke gawang lawan (ada siaran langsung di televisi). Saat itu juga aku berseru, "Tuh 'kan. Pasti gol neh."
Kemudian kami menyadari bahwa mereka bersorak karena sedang ada perayaan ulang tahun. Langsung saja isteriku menepuk bagian depan topiku dan membuatku terkejut.
"Lho, apa-apaan sih?" sergahku tak senang.
"Habis, ka'A nyalahin elist...," jawabnya.
Padahal, aku sama sekali tak menyalahkan siapa-siapa. Tapi isteriku berpikir bahwa aku sedang menyalahkan dirinya saat aku berseru.
Habislah sudah kegembiraan selama dua hari kemarin. Perasaan senang yang selama dua hari singgah di ruang hati, mendadak lenyap meninggalkan jejak-jejak kejengkelan yang ternyata tak mudah terhapuskan hingga keesokan harinya.
Kenapa begitu mudah kami bertengkar? Pastilah karena kami belum saling memahami dengan baik. Isteriku masih belum memahami suasana hatiku dengan mendengar nada suaraku. Tentu saja itu tak bisa disalahkan, sebab akupun punya kelemahan yang serupa. Aku belum bisa memahami bahwa isteriku ternyata sangat sensitif saat mendengar kata-kataku. Sedikit saja aku keras bicara (walau hanya ungkapan yang belum tentu aku tujukan padanya), maka isteriku akan merasa bahwa dia sedang kujadikan obyek penderita. Padahal, kami sudah hampir dua tahun tinggal bersama. Anggapan bahwa kami sudah saling memahami, ternyata masih jauh dari kebenaran.
Lalu, kapan kami akan saling memahami? Sulit menjawabnya. Sebab pemahaman kita pada orang lain bukan hanya bergantung pada berapa lama kita mengenal seseorang. Kemampuan kita memahami orang lain, akan sangat bergantung pada waktu, tempat, dan bahkan suasana hati. Walaupun kita sudah merasa mampu memahami orang lain karena sudah mengenalnya dalam waktu lama, ternyata kemampuan itu bisa hilang begitu saja, bahkan ketika suasana hati kita sedang senang. Kalau ini yang terjadi, maka pertengkaranlah yang akan timbul.
Barangkali karena manusia memang harus berbeda. Kita mungkin akan hidup lebih harmonis jika mampu saling memahami. Tapi itu berarti penyangkalan terhadap ego diri, kesediaan mengalah, dan kemampuan menahan diri untuk tidak mengoreksi kesalahan orang lain secara langsung. Padahal, secara fitrah, manusia adalah produk unggul hasil seleksi alam. Kita telah mampu mengatasi persaingan di alam sebelum lahir (ketika jutaan sel sperma memperebutkan hanya satu saja sel telur). Perasaan unggul ini akan terus terbawa hingga kita mati. Maka, akan sulit bagi siapapun untuk mengakui keunggulan orang lain, termasuk mengakui kegagalan kita sendiri untuk memahami orang lain.
Atau kemampuan memahami orang lain ini juga bergantung pada usia kita ? Apakah bertambahnya umur membuat kita makin mampu memahami orang lain? Ah, bukankah sudah aku jelaskan tadi, bahwa ini tidak hanya bergantung pada satu faktor saja. Yang jelas, kita bisa memilih. Kita bisa memilih suasana seperti apa yang kita inginkan, lalu menyesuaikannya dengan sikap kita untuk menerima orang lain dan menekan ego kita sendiri.
Kalau ini benar, berarti akan terus ada pertengkaran di antara manusia. Kalau hanya pertengkaran kecil, tak apa. Malah bisa jadi bumbu dinamika hidup ini.
Allahu'alam.

No comments: