9/18/2006

Surat Buat Isteriku (2)

Gambaran Surga Kita

Aku mengenalnya untuk kali pertama pada saat aku masih duduk di kelas dua SMA. Cantik, anggun, dan sanggup membuatku berkali-kali terpikat padanya. Setiap menyambanginya, aku selalu merasa sedang berada di surga. Membuatku rela mati saat itu juga. Dan setiap kali sehabis mengunjunginya, aku selalu merasakan adanya tambahan gairah dalam hidupku, menyegarkan pikiran dan suasana batinku yang seringkali jenuh dengan rutinitas kehidupan sehari-hari.

Memang butuh waktu tidak sedikit jika aku ingin menemuinya, tapi itu tak berarti apa-apa dibandingkan segala yang kudapatkan kemudian. Aku sering berlama-lama memandangi wajahnya dari segala jurusan. Menikmati hawa sejuk yang ia tawarkan, seraya mengamati awan tipis yang melambai pelan dilatari langit luas kebiruan. Atau mendengarkan kicau burung dan ricik air di kejauhan. Tak jarang kedamaian yang disuguhkan membuatku merasa amat tenang hingga terlelap di pangkuannya.

Kau sebenarnya pernah mengunjunginya, tapi tak sampai menjumpainya. Hanya berhenti di pelataran depan saja, tidak sempat meliaht rupa dan wajahnya yang teduh dan damai. Ya, Kau pernah mengunjunginya, meski tak pernah menjumpainya. Kau mungkin bertanya-tanya, siapa dia gerangan ?

Orang-orang menyebutnya Mandalawangi. Entah kenapa ia disebut seperti itu. Mungkin ada kaitannya dengan sebuah dongeng atau mitos tertentu, sebab setahuku, Mandala berarti Medan Perang, dan Wangi adalah aroma yang segar dan menyenangkan. kalau demikian halnya, Mandalawangi bisa berarti Medan Perang yang Harum. Iya nggak ? Barangkali ada mitos atau legenda yang menceritakan peperangan di sana, lalu darah yang tertumpah menjadi penyubur bagi tumbuhnya bunga-bunga Edelweiss Jawa yang khas aroma dan wanginya. Dalam buku hariannya, Soe Hok Gie tak cuma sekali menyebut kecintaannya pada Mandalawangi. Bahkan abu jenazahnya (setelah dua kali kuburnya dibongkar) juga tersebar di sana. Buku itu juga yang membuatku (ketika kelas dua SMA) penasaran dan ingin berkenalan dengannya.

Ia ada di bawah puncak gunung Pangrango, sekitar seratus meter ke arah barat, menghadap gunung Salak. Bukankah Kau pernah ke puncak gunung Pangrango, tapi belum sempat mengunjungi Mandalawangi ? Padahal amat disayangkan sekali kalau sudah tiba di puncak Pangrango tapi tidak mampir ke Mandalawangi. Di sana segala kelelahan akan sirna. Kedamaian yang kuceritakan di atas bukan omong kosong belaka. Dengarlah gemericik yang berasal dari mata air kecil di sana. Mata air yang menyampaikan kerinduan puncak-puncak gunung kepada lautan. Mata air yang terus mencari jalan pintas untuk menemui kekasihnya yang menunggu di bibir muara di pinggir laut utara. Terkadang mata air itu mengalir begitu tenang di tengah hutan, menjadi sumber kehidupan bagi segenap hewan penghuninya. Tapi ia juga sanggup menjelma menjadi jeram besar, seperti air terjun di sekitar Taman Safari di Cisarua. Air terjun tinggi yang begitu deras dan mengalir bergegas, seakan menyiratkan rasa rindu yang tak tertahankan untuk menemui keaksihnya di lautan. Kau pernah memikirkan hal itu, Sayangku? Atau hanya orang gila semacam aku saja yang sempat melamun dan berpikir akan sanggup menyelami kedalaman pikiran dari sebuah mata air kecil di puncak pegunungan?

Aku ingin mengajakmu ke sana. Berdua menikmati lembutnya sepoi angin di pagi hari. Menatap pergerakan awan yang melukis bentuk-bentuk ajaib di langit kebiruan. Atau sekedar membasuh tangan dan merasakan kesejukan mata air kecil yang kelak menjadi sungai-sungai besar di muara pantai utara pulau Jawa. Aku ingin merasakan keindahan dan kedamaian itu denganmu. Berdua kita saling menjalin cerita indah, mungkin untuk kita kisahkan kembali pada anak cucu kita kelak. (kenapa ya, hingga kini aku belum juga dipercaya Allah untuk menjadi seorang bapak?) Kau pasti akan setuju denganku tentang penggalan surga: Seolah ada sudut surga yang sengaja dilepas dan diletakkan di sana.

Entah kapan terakhir kali aku mengunjunginya. Rasanya sudah lama sekali. Dulu aku kerap mengunjunginya jika sedang merasa susah atau bosan dan ingin melepas kejenuhan. Rasa lelahku akan hilang dan semangat hidup akan kembali tumbuh sesudah aku ke sana. Tapi akankah kedamaian itu masih berdiam di sana? Sekian ribu orang yang mengununginya setiap pekan pasti menimbulkan juga pencemaran, jadi mungkin saja suasananya tak seindah seperti puisi. Namun niatku tak pernah terhapus. Aku pernah berjanji, kelak akan membawa keluargaku mengunjunginya. Bersama isteri dan anakku. Memang perjalanannya tidak semudah kalau kita pergi ke Mal atau ke pasar serpong. Tapi percayalah, di sana ada penggalan surga. Dan aku tak pernah bersedia masuk surga, kecuali bersama orang tercinta. Itu berarti dirimu, Kekasih. Sebab engkaulah yang kini menyimpan segenap harapan dan cita-cita.

No comments: