6/07/2007

Arisan Keluarga

Minggu lalu kami jadi tuan rumah arisan. Bukan arisan RT atau RW atau kompleks perumahan, melainkan arisan keluarga. Namun dengan pertimbangan lokasi yang lebih mudah dijangkau, maka tempat pertemuan diputuskan untuk diadakan di rumah ibuku. Pertemuan dua bulanan untuk keluarga dari pihak ibuku itu biasanya dihadiri sekitar 50 - 75 orang. Memang jumlah yang hadir bervariasi, sebab ada saja yang berhalangan.

Sejak dua bulan sebelum tanggal pertemuan, istriku sudah mewanti-wanti agar aku menyisihkan uang dan waktu untuk acara ini. Bahkan dia sudah membuat rencana tentang menu yang akan disajikan nantinya. Bayangin, dua bulan sebelum acara!

Karena tempat arisan di rumah ibuku, maka sebagian makanan akan dimasak di sana. Tentu saja istriku tetap memasak suguhan di rumah kami dan akan di bawa ke sana, antara lain ayam yang akan dibakar, tempe-tahu bacem, cake tape, pie dengan kiwi yang mempercantik penampilan di atasnya (nulisnya bener nggak ya? istriku sih ngomongnya pai), serta martabak yang nantinya akan digoreng di rumah ibuku. Tidak lupa istriku juga membawa blewah, syrup nanas, serta meinuman bersoda sebagai sajian minuman. Cukup? belum dong. Ibuku juga menyajikan nagasari (yang namanya aja keren, padahal cuma pisang diselimuti adonan tepung dan dibungkus daun pisang sebelum dikukus), sayur sop, kerupuk udang, sambal, serta lalapan.

Persoalan makanan sebenarnya bukan masalah besar, sebab biasanya, famili-famili lain yang akan hadir juga membawakan makanan, setidaknya kue. Dan kemudian memang terbukti, sebab ada yang membawa klepon, kue pukis, bakwan, serta kue-kue lain. Juga tak ketinggalan buah-buahan. Karena hal ini, istriku merasa tak enak hati, serta menyalahkan aku. Lho...? Iya, sebab kalau sedang arisan di tempat keluarga yang lain, istriku selalu betanya, "Apa kita perlu bawa-bawa?" (maksudnya bawa makanan gitu).

Satu hal yang aku khawatirkan adalah kondisi kesehatan istriku. Iya, istriku memang sensitif maagnya. Sedikit saja ada beban pikiran, maka sakit maagnya akan kambuh. Karena itu, aku selalu mengingatkan agar istriku tak terlalu mengkhawatirkan acara itu. Iya, soalnya kalau terlalu mencemaskan sesuatu, istriku suka lupa makan. Akibatnya maagnya akan sakit. Memang sih, segala sesuatu harus direncanakan agar berjalan lancar, tapi kalau rencana sudha dibuat, kan tinggal menjalankan saja, nggak usah dipikirin berulang kali. Tapi karena dasarnya istriku itu orang yang sangat baik, maka dia khawatir sekali kalau mengecewakan orang akibat acara tidak berjalan lancar.

Sehari sebelum acara berlangsung, kami berdua berangkat ke rumah ibuku, lengkap dengan segala perabotan lenong seperti wajan teflon serta bahan-bahan makanan yang akan dihidangkan nantinya. Tentu saja kami harus menginap, sebab tak mungkin persiapan dilakukan pas hari H saja. Setibanya di rumah ibuku, persiapan makanan sudah mulai dilakukan. Ibuku sedang membuat nagasari. Rencananya, pagi-pagi sekali, sebelum subuh, istriku akan membuat pai. Pai ini pekerjaannya njlimet, sebab harus membuat fla untuk isi dasarnya, meletakkan kiwi sebagai pengganti strawberi, lalu dilapisi cairan agar-agar sebagai pengikat. Setelah itu membuat adonan untuk isi martabak, membungkusnya dengan adonan kulitnya (beli di pasar BSD seharga limaratus perak), dan menggorengnya satu per satu.

Jam delapan aku mulai membakar arang untuk memanggang ayam (acara dimulai jam duabelas). Keluarga dekat seperti kakakku dan bulik Supar datang lebih cepat dari tamu-tamu lainnya. Tak lama kemudian, segeralah rutinitas saat kumpul keluarga terjadi. Anak-anak berlari ke sana kemari, ibu-ibu asyik menyiapkan hidangan sambil ngerumpi, serta bapak-bapak ngobrol di ruag tengah, teras depan, serta teras samping. Pendeknya, ini ajang reuni keluarga. Jadi kalau ada yang beranggapan arisan itu lebih banyak mudaratnya, maka itu tak bisa dipkul rata. Nyatanya, kegiatan arisan keluarga bisa mendekatkan lagi hubungan persaudaraan sesama keluarga besar. Lagipula, kata nabi, silaturahim itu memperluas rejeki. Alhamdulillah acara berjalan lancar. Tinggal cuci piring aja yang menumpuk.

Selain karena bertemu keluarga besar, aku juga sangat senang karena penyakit kambuhan isteriku tidak menyerang. Sore itu juga kami pulang ke Serpong. Selesai? Belum dong. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sekitar jam dua pagi, istriku mengerang sambil memegang perutnya. Rupanya maagnya kambuh. Obat yang biasanya manjur (buatan dewa ya?) ternyata tak berdaya menghadapi penyakit ini. Tiga kali istriku harus (maaf) muntah karena rasa mual. Maka aku pun tak berani tidur nyenyak. Kugenggam tangannya sambil berdoa agar penyakit istriku segera diangkat dan istriku diberi kekuatan menghadapinya. Dalam hati aku masih bersyukur karena penyakit itu tidak datang pada saat acara arisan berlangsung. Tidak terbayang kalau itu yang terjadi, sebab jangankan untuk masak berbagai kue dan makanan lainnya, untuk berdiri saja harus hati-hati agar tidak jatuh.

Saat aku berangkat kerja, kuminta istriku tak usah melakukan apa-apa dulu, termasuk masak atau membersihkan rumah. Sepulang kerja, tak lupa aku membeli bubur untuknya. Sungguh, melayani istri ternyata juga membahagiakan bagi seorang suami, tidak melulu hanya ketika dilayani oleh istri....

Allahu'alam.