10/06/2006

soal cara curhat

Sedikit lho, orang yang bisa mengutarakan perasaan dalam tulisan lalu menyerahkannya pada dunia untuk dibaca. Apalagi kesedihan dan luka-luka hatinya. Aku juga kurang berani dalam hal ini. Masalahnya cuma satu: aku belum pandai menceritakan masalah atau kesedihanku dalam bentuk yang tidak nelangsa dan tidak membuat orang lain iba, yang tidak membuat orang jadi menyudutkan kita sebagai cengeng karena ada kata sedih atau tangis di dalamnya. Padahal, banyak orang lain (mungkin temasuk kau D ?) yang mampu menuliskan kesedihannya tanpa sedikitpun menuliskan kata sedih atau tangis di dalamnya. Contohnya tulisan ini nih:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Tanpa kata-kata sedih yang menimbulkan rasa iba, kita seolah-olah melihat suatu bingkai kepedihan yang dialami penulis. Sebuah lukisan pemandangan di tepi laut dengan kapal dan perahu yang diam pasrah di dermaga, tanpa gairah untuk menerjang ombak yang juga seakan telah kehilangan geloranya. Malam pun seolah datang lebih cepat memenuhi ajakan gerimis yang datang. Terdengar kelepak elang di kejauhan, yang tentu tak akan terdengar saat suasana ramai. Di tengah suasana sepi dan muram itu, si penulis berjalan seolah tanpa harapan, berjalan seorang diri sepanjang semenanjung. Mengharap kesedihan segera berakhir dan tangis yang keluar adalah sedu penghabisan. Itu yang kita tangkap. Padahal, tak ada satupun kata-kata sedih, tangis, perih, apalagi luka dan sakit hati.

Oh iya, penulis kata-kata di atas namanya chairil anwar.

Nah, ternyata ada yang bisa menulis kesedihan dan pedih hati dengan cara luar biasa seperti itu. Rasanya kepingin juga bisa nulis seperti itu. Tapi tiap orang punya hak masing-masing, ya? Kalau aku nggak bisa nulis seperti di atas, bukan berarti aku tidak boleh menuliskan perasaanku. Hanya saja, aku tidak boleh protes kalau orang lain jadi salah paham, atau keliru membuat tafsir, atau tiba-tiba menyuruhku bangun dari mimpi berkepanjangan. Kecuali jika sejak awal memang tidak dibuka peluang bagi orang lain untuk memberikan komentar.

Tanpa bermaksud menggurui, apa kau tertarik untuk bisa menulis dengan gaya seperti itu? Sehingga ketika menulis tentang kesedihan kita, pembaca akan paham bahwa kita sedang sedih, tapi tanpa tuduhan bahwa kita cengeng, tanpa tudingan bahwa kita lemah. Aku sih tertarik, tapi ternyata nggak gampang. Hasilnya masih jauh dari harapan Contohnya, waktu aku patah hati (cihuy..) dan tiba-tiba teringat dengan orang yg membuatku patah hati, aku nulis seperti ini:

Kaukah itu, yang menitipkan senyum pada mentari
merajut tirai jingga di jendela langit pagi
ketika angin merangkai udara
dan resah membingkai rasa

Apa kabar, Melati
yang pernah semi dan mekar di dasar hati ?

dst.

Kacau banget kan tuh? Makanya aku selalu tertarik kalau ada orang membuat tulisan, seperti yang ada di web kutuloncat :) . 'Kali aja aku bisa mencuri ilmunya, hehe... Nah, kalau kau punya kemampuan itu, bagi-bagi ya! Soalnya, pasti tak akan ada lagi orang menuduh kita macam-macam atau salah tanggap terhadap tulisan kita.