9/27/2006

Belajar Menjadi Suami (2)

Belajar dari Shalat

Di bulan Ramadhan, kesempatan beribadah biasanya lebih luas. Termasuk melakukan shalat berjamaah berdua dengan isteriku. Kalau biasanya hanya berkesempatan menjadi imam shalat fardlu, maka di Ramadhan kesempatan menjadi imam baginya akan bertambah. Sebut saja seperti shalat tarawih ataupun ketika Qiyamul Lail dengan tahajjud. Ini membuatku sering merenungkan arti menjadi imam bagi isteriku sendiri.

Saat aku berdiri menjadi imam shalat bagi isteriku, dimensi yang bermain bukan hanya dimensi ruhiah saja, atau sekedar menghapus kewajiban terhadap Tuhan. Saat menjadi imam shalat sebenarnya aku sedang memimpin isteriku menghadap Allah. Itu berarti memimpinnya beribadah. Nah, ibadah ini punya dimensi sangat luas. Tidak sekedar ritual rutin saja. Memimpin isteriku shalat sama saja dengan memimpinnya menjalani hidup ini. Aku harus menjadi panutan baginya saat ruku, sujud, mengucap salam, atau gerakan shalat lainnya. Ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Aku harus mampu membimbingnya menjalani hidup, belajar menapak dalam irama yang serasi dan seimbang, sambil terus menyadari bahwa menjalani hidup adalah ibadah yang tak terputuskan. Tentu saja harus ada interaksi dan saling koreksi. Bukankah dalam shalat sekalipun, seorang imam yang salah harus bersedia dikoreksi jamaahnya? Maka dalam menjalani hidup pun aku harus bersedia mendengar masukan dari isteriku, baik berupa kritik maupun saran.

Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, maka harus dikaji sejak sebelum melakukan shalat, yaitu membersihkan diri dengan wudhu. Seorang imam yang penuh perhatian, akan memperhatikan juga cara diriya berwudhu, agar perannya sebagai imam tidak justru merugikan jamaahnya. Dalam kehidupan, aku harus memerhatikan betul status "kebersihan" rumah tangga. Bukan saja secara fisik, tapi juga secara mental dan ruhani. Misalnya saja, aku harus memerhatikan dari mana asal nafkah yang kuberikan pada isteriku. Tak bisa aku sembarangan memberikan nafkah tanpa mencermati asal usulnya. Kalau gagal, berarti aku juga gagal menjaga wudhu. Secara mental, wudhuku sudah batal, atau membuat isteriku batal wudhunya.

Setelah wudhu, yang harus disiapkan adalah kesucian tempat shalat, yang secara harfiah direpresentasikan dengan sajadah. Ini, dalam kehidupan, sama saja seperti ketika memilih tempat bergaul bagi rumah tangga kita. Seperti apa lingkungan pergaulan dan siapa kawan-kawan pilihan, aku harus mampu membimbingnya. Seperti ketika aku menyiapkan kesucian sajadah tempat kami shalat. Alhamdulillah, saat ini isterku sudah bergabung dalam liqo pekanan. Dan aku tahu, meski bukan orang-orang sempurna, tapi Insya Allah mereka, teman-teman isteriku, adalah orang-orang yang hanif dan amanah.

Hal yang sama juga berlaku untuk setiap gerakan shalat, mulai Takbiratul Ihram hingga Salam. Semua menjadi cermin bagaimana aku memimpin isteri menjalani hidup ini. Membimbingnya agar bahtera rumah tangga kami mampu terus berlayar hingga tetap dalam kondisi selamat. Harus selalu ada kesesuaian antara apa yang terjadi dalam sahalat berjamaah dengan apa yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tidak, itu artinya shalatku hanya berhenti menjadi ritual rutin penggugur kewajiban semata. Itu berarti shalatku tidak dikerjakan dalam keadaan sadar. Padahal Allah melarang kita untuk shalat dalam keadaan tidak sadar atau mabuk.

Maka percuma aku shalat berjamaah bersama isteriku dengan khusuk kalau gagal memberi kasih sayang penuh kepadanya, sebagaimana ketika mengucapkan salam ke kanan, tempat ia duduk ketika shalat berjamaah denganku. Percuma saja shalat khusuk kalau ternyata masih tak mampu membimbing isteri dalam kehidupan sehari-hari. Percuma aku shalat dengan memulai wudhu kalau tak mampu memberi nafkah yang halal dan thayib bagi isteriku, atau gagal mendorongnya untuk mengikuti kumpulan pergaulan yang baik dengan tujuan yang baik pula, meskipun telah memilih tempat yang bersih untuk shalat. Hubungan shalat khusuk ini (pastilah) timbal balik. Artinya, aku tak akan mampu bersikap baik seperti hal-hal yang kusebutkan di atas, kalau shalatku sendiri tidak khusuk. Bukankah Allah menjanjikan bahwa shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar? Maka pastilah ada korelasi tegas antara kekhusukan saat shalat dengan keberhasilan menjalani kehidupan.

Menjadi imam shalat jamaah, terutama ketika berdua dengan isteriku, haruslah menjadi sarana yang terus mengingatkan diriku untuk mengacu pada akhlak yang baik saat menjadi seorang suami. Seperti telah diketahui, shalat adalah penghubung antara makhluk dengan Khalik. Maka shalat menjadi semacam akhlak, menjadi tata cara bersikap, bagi seorang makhluk kepada Khaliknya. Kalau aku menjadikan shalat ini menjadi cermin berperilaku sehari-hari, maka shalat adalah akhlak acuan saat aku mengimami isteriku ketika menjalani kehidupan ini. Konsekuensinya, sikapku terhadap isteriku dalam menjalani kehidupan ini, adalah bagian dari sikapku terhadap sang Pencipta. Penilaian akhlakku terhadap Allah juga ditentukan dengan akhlakku terhadap isteriku!

Menjadi imam memang tidak mudah, baik dalam shalat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tapi aku telah memilih peran itu, ketika mengucap ijab untuk menikah dengannya. Berjanji akan menjadi imam baginya. Dan aku bisa belajar menjalani peran itu, setiap kali aku menjadi imam shalat baginya.

Allahu'alam Bishawab

9/18/2006

Ramadhan, bulan siyam, bulan kasih sayang

Apa yang teringat setiap kali memasuki Ramadhan? Kembang api? Tarawih? Makan sahur berjama'ah? Ngbuburit? atau malam-malam penuh tangis penyesalan?

Setiap kali masuk bulan Ramadhan, aku selalu teringat lagi dengan suasana di masa kecilku di wilayah perkampungan padat penduduk di Tulodong Atas, Senayan, Kebayoran Baru. Selepas buka puasa dan shalat maghrib, dengan sarung melilit di pinggang dan uang sepuluh rupiah (Rp. 25) erat kugenggam, aku segera berlari menjumpai teman-temanku di luar. Biasanya kami main petasan, dan petasan kesukaanku adalah petasan banting. Dengan harga lima perak, aku sudah bisa memiliki dua buah bulatan putih yang jika dibanting akan meledak dengan suara memekakkan telinga. Petasan akan kami banting sambil berlari-lari ke segala arah.

Tentu saja tidak tiap malam aku membeli petasan. Yang paling sering kubeli, seingatku, adalah asinan bengkuang dan ketimun. Aku masih ingat betul rasanya, dengan kuah pedas asam manisnya. Terkadang aku juga membeli bakwan dengan kuah bumbu kacang. Kalau yang ini, aku masih suka sampai sekarang. Sisa uangnya, biasanya aku belikan es limun. Harganya sepuluh perak (Rp. 10) per botol, dan rasa kegemaranku adalah rasa jeruk. Biasanya aktifitas ini harus berhenti saat terdengar adzan Isya'. Kalau tidak, akan kena marah nantinya. Maka arena keriuhan tadi akan berpindah di masjid, hingga orang-orang dewasa akan menegur kami agar tidak terlalu ramai. Seusai tarawih, kami akan lanjutkan dengan permainan lain di sekitar masjid. Biasanya permainan yang dimainkan adalah petak kadal atau dornama (petakumpet berkelompok). Aktifitas penuh peluh ini akan berakhir menjelang pukul sepuluh malam, untuk dilanjutkan lagi setelah subuh.

Di Pondok Gede, aktifitas Ramadhan di masa kecilku tidak berbeda jauh, selain nilai dan harga barang-barang yang berubah naik. Juga setelah memiliki sepeda, karena "touring" keliling pondok Gede menjadi aktifitas lain yang menyenangkan seusai sahur dan subuh. Memang, suasana Ramadhan tak akan mungkin terlupakan oleh semua anak-anak, bahkan yang beragama selain Islam sekalipun!

Aktifitas di bulan Ramadhan ini memang berubah seiring bertambahnya umur. Tapi ada satu yang tak berubah, yaitu kebahagiaan dan kegembiraan menyambut Ramadhan, meski dengan perspektif yang berbeda.

Sekarang adalah tahun kedua aku memasuki Ramadhan bersama seorang pendamping hidup bernama isteri. Aktifitas Ramadhan pun berubah tak lagi seperti di masa kecil yang penuh tawa dan canda. Tapi tetap kebahagiaan dan kegembiraan karena Ramadhan itu tak bisa hilang. Terbayang bagaimana nanti aku menunggu isteriku mempersiapkan diri untuk shalat tarawih atau subuh (perempuan harus menyiapkan sajadah dan mukenanya), lalu berjalan berdua bergandengan tangan menuju musholla. Atau tilawah berdua sambil saling menyimak dan mengoreksi kesalahan sebelum mencari tahu tafsir ayat-ayatnya di Tafsir Fii Zhilalil Quran yang selama ini jarang kami buka. Atau menikmati siaran dakwah di radio atau televisi yang pasti akan semarak di Ramadhan. Atau bersama-sama meningkatkan pengetahuan dengan mengkaji ilmu berbekal buku-buku yang di luar Ramadhan jarang sekali tersentuh. Terbayang keindahan saat-saat menunggu maghrib bersama isteriku, ketika aku membantunya menyiapkan ta'jil (meskipun lebih tepat kalau dibilang aku mengganggunya, karena dialah yang pandai memasak, sedangkan aku hanya menemani saja di dapur). Saling menyadari dan mengingatkan dengan kesabaran bahwa Ramadhan inilah kesempatan menabung amal buat bekal di akhirat nanti.

Begitulah Ramadhan. Bulan hikmah, ampunan, sekaligus pembebasan dari api neraka. Jika dijalani dengan sungguh-sungguh, Ramadhan akan memberikan kesejukan dalam hati, kedamaian yang melingkupi jiwa, dan kesegaran hati ruhani. Bahkan anak-anak kecil pun sudah merasakan hikmah itu, kebahagiaan itu. Lihatlah binar dari mata setiap anak-anak di bulan Ramadhan, begitu indah dan cerah. Apalagi bagi orang dewasa yang sudah memahami hikmah Ramadhan. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan sinyalemen, bahwa Ramadhan adalah kado bagi umat Muhammad yang berumur pendek, agar bisa menyamai tingkat amal ibadah umat-umat terdahulu yang berusia panjang. Mungkin Allah memang mencurahkan segenap kasih sayangnya di bulan Ramadhan. Dan aku sudah punya segudang rencana untuk mengisinya di tahun ini. Rencana yang akan kujalani dengan isteri tercintaku. Tentu saja aku akan mendiskusikannya terlebih dahulu. Isteriku pasti punya rencana juga, dan kami akan membuatnya harmonis dan saling menyesuaikan, hingga tak ada istilah rencana yang saling berseberangan.

Hanya ada satu kekhawatiranku, yaitu soal kambuhnya penyakit maag isteriku. Biasanya (mudah-mudahan tahun ini tidak), di awal puasa, penyakit itu akan datang pada isteriku. Kalau itu yang terjadi, aku pasti akan merasa sedih. Aku tak tahan melihat wajahnya menahan perih lambungnya, hingga kalau boleh, aku ingin menggantikannya menanggung rasa sakit itu. Jadi buat isteriku, "Tahun ini jangan sakit dan membuat suamimu sedih lagi ya?" Ya Allah, angkatlah penyakit itu dari tubuh isteriku. Tapi jika tidak bisa, maka semoga itu menjadi penggugur dosa-dosa dan kekhilafannya. Atau menjadi sarana bagiku untuk semakin mencurahkan rasa cinta dan kasih sayang padanya.

Surat Buat Isteriku (2)

Gambaran Surga Kita

Aku mengenalnya untuk kali pertama pada saat aku masih duduk di kelas dua SMA. Cantik, anggun, dan sanggup membuatku berkali-kali terpikat padanya. Setiap menyambanginya, aku selalu merasa sedang berada di surga. Membuatku rela mati saat itu juga. Dan setiap kali sehabis mengunjunginya, aku selalu merasakan adanya tambahan gairah dalam hidupku, menyegarkan pikiran dan suasana batinku yang seringkali jenuh dengan rutinitas kehidupan sehari-hari.

Memang butuh waktu tidak sedikit jika aku ingin menemuinya, tapi itu tak berarti apa-apa dibandingkan segala yang kudapatkan kemudian. Aku sering berlama-lama memandangi wajahnya dari segala jurusan. Menikmati hawa sejuk yang ia tawarkan, seraya mengamati awan tipis yang melambai pelan dilatari langit luas kebiruan. Atau mendengarkan kicau burung dan ricik air di kejauhan. Tak jarang kedamaian yang disuguhkan membuatku merasa amat tenang hingga terlelap di pangkuannya.

Kau sebenarnya pernah mengunjunginya, tapi tak sampai menjumpainya. Hanya berhenti di pelataran depan saja, tidak sempat meliaht rupa dan wajahnya yang teduh dan damai. Ya, Kau pernah mengunjunginya, meski tak pernah menjumpainya. Kau mungkin bertanya-tanya, siapa dia gerangan ?

Orang-orang menyebutnya Mandalawangi. Entah kenapa ia disebut seperti itu. Mungkin ada kaitannya dengan sebuah dongeng atau mitos tertentu, sebab setahuku, Mandala berarti Medan Perang, dan Wangi adalah aroma yang segar dan menyenangkan. kalau demikian halnya, Mandalawangi bisa berarti Medan Perang yang Harum. Iya nggak ? Barangkali ada mitos atau legenda yang menceritakan peperangan di sana, lalu darah yang tertumpah menjadi penyubur bagi tumbuhnya bunga-bunga Edelweiss Jawa yang khas aroma dan wanginya. Dalam buku hariannya, Soe Hok Gie tak cuma sekali menyebut kecintaannya pada Mandalawangi. Bahkan abu jenazahnya (setelah dua kali kuburnya dibongkar) juga tersebar di sana. Buku itu juga yang membuatku (ketika kelas dua SMA) penasaran dan ingin berkenalan dengannya.

Ia ada di bawah puncak gunung Pangrango, sekitar seratus meter ke arah barat, menghadap gunung Salak. Bukankah Kau pernah ke puncak gunung Pangrango, tapi belum sempat mengunjungi Mandalawangi ? Padahal amat disayangkan sekali kalau sudah tiba di puncak Pangrango tapi tidak mampir ke Mandalawangi. Di sana segala kelelahan akan sirna. Kedamaian yang kuceritakan di atas bukan omong kosong belaka. Dengarlah gemericik yang berasal dari mata air kecil di sana. Mata air yang menyampaikan kerinduan puncak-puncak gunung kepada lautan. Mata air yang terus mencari jalan pintas untuk menemui kekasihnya yang menunggu di bibir muara di pinggir laut utara. Terkadang mata air itu mengalir begitu tenang di tengah hutan, menjadi sumber kehidupan bagi segenap hewan penghuninya. Tapi ia juga sanggup menjelma menjadi jeram besar, seperti air terjun di sekitar Taman Safari di Cisarua. Air terjun tinggi yang begitu deras dan mengalir bergegas, seakan menyiratkan rasa rindu yang tak tertahankan untuk menemui keaksihnya di lautan. Kau pernah memikirkan hal itu, Sayangku? Atau hanya orang gila semacam aku saja yang sempat melamun dan berpikir akan sanggup menyelami kedalaman pikiran dari sebuah mata air kecil di puncak pegunungan?

Aku ingin mengajakmu ke sana. Berdua menikmati lembutnya sepoi angin di pagi hari. Menatap pergerakan awan yang melukis bentuk-bentuk ajaib di langit kebiruan. Atau sekedar membasuh tangan dan merasakan kesejukan mata air kecil yang kelak menjadi sungai-sungai besar di muara pantai utara pulau Jawa. Aku ingin merasakan keindahan dan kedamaian itu denganmu. Berdua kita saling menjalin cerita indah, mungkin untuk kita kisahkan kembali pada anak cucu kita kelak. (kenapa ya, hingga kini aku belum juga dipercaya Allah untuk menjadi seorang bapak?) Kau pasti akan setuju denganku tentang penggalan surga: Seolah ada sudut surga yang sengaja dilepas dan diletakkan di sana.

Entah kapan terakhir kali aku mengunjunginya. Rasanya sudah lama sekali. Dulu aku kerap mengunjunginya jika sedang merasa susah atau bosan dan ingin melepas kejenuhan. Rasa lelahku akan hilang dan semangat hidup akan kembali tumbuh sesudah aku ke sana. Tapi akankah kedamaian itu masih berdiam di sana? Sekian ribu orang yang mengununginya setiap pekan pasti menimbulkan juga pencemaran, jadi mungkin saja suasananya tak seindah seperti puisi. Namun niatku tak pernah terhapus. Aku pernah berjanji, kelak akan membawa keluargaku mengunjunginya. Bersama isteri dan anakku. Memang perjalanannya tidak semudah kalau kita pergi ke Mal atau ke pasar serpong. Tapi percayalah, di sana ada penggalan surga. Dan aku tak pernah bersedia masuk surga, kecuali bersama orang tercinta. Itu berarti dirimu, Kekasih. Sebab engkaulah yang kini menyimpan segenap harapan dan cita-cita.

9/13/2006

Bayi

Seorang rekan di kantor baru saja mendapat karunia dari Allah setelah isterinya melahirkan bayi laki-laki pertamanya. Ia membawa foto-foto anaknya tersebut untuk "diolah" di komputer kantor, karena ia akan mengirimkannya lewat email. Aku sempat melihat foto-foto tersebut. Bayi itu tampak sangat menggemaskan dengan pipi bersemu merah jambon. Matanya yang terpejam seakan menyiratkan bahwa bayi itu masih silau dengan cahaya dunia yang sangat benderang dibandingkan dengan ruang di rahim ibunya. Subhanallah. Betapa kehadiran seorang bayi, meski hanya kulihat sepintas gambar digitalnya saja, sudah mampu membuatku diliputi rasa senang. Seperti ada kesejukan yang mengalir di ruangan kantorku.

Tapi kesejukan tadi lantas berubah menjadi hawa dingin yang seolah ingin menusuk tulangku setelah aku kembali ke mejaku. Ada rasa rindu yang teramat dalam menyergapku. Seakan membekap dengan selembar rasa sunyi yang membekukan tulang dan persendian. Lagu "Bad Moon Rising" milik CCR dari winamp tak lagi sanggup memaksa kaki mengetuk-ketuk lantai seperti biasanya. Aku bagai orang asing di tengah riuhnya suara yang tak kukenali. Suwung, hampa, tak ada apa-apa lagi.

Yang melintas kemudian adalah wajah isteriku yang tanpa senyum, lalu wajah karib kerabat dan handai taulan serta teman-teman yang sering bertanya padanya, "Sudah isi belum?"

Ah, wajah-wajah itu, wajah bayi merah semu dan isteriku, telah merobek langit hatiku sendiri. Membuat kecil diri ini karena merasa tak dipercaya Sang Pencipta untuk mengemban amanah memiliki seorang bocah manusia. Rasanya leher ini terlalu lemah untuk menegakkan kepala di saat-saat seperti ini. Merampas semua nyali dan kebanggaan diri sebagai seorang suami.

"Setiap bayi ynag lahir," begitu ujar Rabrindanath Tagore, "Selalu membawa pesan yang sama, bahwa Tuhan belum bosan dengan manusia." Meskipun perilaku sebagian besar manusia begitu memuakkan dan sanggup membuat dunia porak poranda, selalu ada harapan untuk perbaikan ketika seorang bayi terlahir ke bumi. Harapan yang lahir bersama kehadiran seorang bayi itu dikirim Sang Penguasa Alam Semesta dari segala bentuk pasangan manusia. Tak peduli itu pasangan yang terjalin dari hubungan haram di luar nikah, atau dari pernikahan yang suci dan sah, atau dari pasangan orang-orang berperilaku jahat, atau dari orangtua yang salih dan dalihag, tetap saja punya peluang untuk menerima amanah perbaikan kehidupan dunia berbentuk seorang bayi.

Tak jelas benar apa kriteria pemilihan agar seseorang boleh menjadi jalan bagi lahirnya harapan baru yang mengiringi seorang bayi. Seorang koruptor dengan harta curian yang tak habis dimakan seluruh rakyat negeri ini bisa saja terpilih untuk menjadi seorang ayah. Seorang pengemis buta yang hanya mengandalkan bantuan orang lain pun, boleh menjadi perantara bagi pesan Tuhan berbentuk bayi manusia. Hanya ada satu yang jelas bagiku: aku belum memenuhi kriteria itu. Masih harus kupeluk terus rasa sepi ini, masih harus kunikmati irama hambar dalam rasa pendengan telinga, tanpa suara tangis dari bayiku sendiri.

9/08/2006

Belajar Menjadi Suami (1)

Arswendo pernah menulis "Pelajaran Pertama Calon Ayah". Judul ini berkesan bagiku. Tema yang dalam kalimat itulah yang terpikir saat aku mencari pengganti judul blog ini. Kenapa blog ini harus diganti judulnya? Kenapa harus memakai judul "Belajar Menjadi Suami? Begini ceritanya.

Semula blog ini berjudul "ar... ...di on the blog". Kemudian karena isinya lebih banyak menceritakan perihal kami berdua, yaitu aku dan isteriku, maka kuganti saja menjadi "arief - lilis on the blog". Harapanku, isteriku juga mau ikutan menulis di blog ini. Tapi ternyata isteriku masih malu-malu untuk menulis. Mungkin ketiadaan koneksi internet di rumah menjadi salah satu kendala juga. Di samping itu, isteriku ternyata keberatan dengan salah satu tulisanku dan memintaku untuk menghapusnya). Tentu saja aku merasa mendapat pukulan, terpukul, dan kecil hati. Seolah ada yang menunjukku sambil berseru, "Ada yang salah dengan Blog ini !"
Lalu aku coba melakukan koreksi. Kucari, kuteliti, dan kupelajari tiap kata yang kutulis di blog ini. Sampai aku mendapatkan satu kesimpulan: aku belum menjadi suami yang ideal bagi dirinya. Masih perlu melakukan pembelajaran diri. Memang aku sudah menjadi suami, tapi kini aku berpikir bahwa menjadi suami adalah proses belajar. Kalau begitu, judul blog ini lagi-lagi harus diganti. Aku ingin judul yang bisa mewakili kondisi sekaligus semangatku saat ini. Kemudian terlintaslah judul buku tadi (judulnya saja, bukan isinya!). Barangkali karena aku belum punya anak dan masih berstatus calon ayah. Lagipula semangatnya sekarang adalah semangat belajar untuk menjadi suami yang baik bagi isteriku. Maka kupilih saja judul "Belajar Menjadi Suami".

Mungkin kau anggap terlalu mengada-ada paparanku ini, tapi aku merasa judul itu lumayan enak di dengar di telinga. Tadinya aku ingin membuat "belajar menjadi ayah". Tapi karena belum punya anak, maka judul itu rasanya belum pas. Memang kalau "belajar menjadi suami" akan ada kesan bahwa aku belum menjadi suami. Namun kemungkinan itu aku kesampingkan saja. Sebab memang suami itu bukan status, melainkan proses untuk menjadi sesuatu, yaitu suami ideal.

Nah, semoga saja setelah mendapat pelajaran karena kritik isteriku, dan dengan niat dan semangat (serta cara pandang) yang baru untuk jadi suami, aku tak perlu mengganti judul blogku lagi suatu saat nanti.

9/05/2006

Lumpur

Perusahaan pengeboran penantangnya, dan lumpur panas sang jagoannya. Keduanya beradu kekuatan. Yang satu didukung sumber finansial yang sangat besar, sementara yang lain didukung satu kekuatan: kekuatan alam. Hingga kini skor sudah 3 : 0. Pertandingan belum berakhir.

Sejak hampir empat bulan lalu, di area pengeboran milik mereka, ada semburan lumpur panas yang hingga kini tak juga usai. Rata-rata volume lumpur yang keluar adalah 50.000 meter kubik. Sudah 200-1n hektar area yang tergenang meski telah dibuat tanggul penahan hingga setinggi 10 meter. 3 upaya teknik sudah dilakukan dengan hasil yang sama: lumpur masih muncrat, genangan makin luas dan tinggi. Lalu, apa arti angka-angka dan kenyataan yang lahir di atas?

Ada beberapa gosip (dan mungkin ejekan) tentang sebuah keluarga yang memiliki perusahaan pengeboran itu. Konon, salah seorang anggota keluarga pengusaha itu baru saja menang judi bola milyaran rupiah, sebelum perang tanding itu kemudian bergulir. Lumpur yang muncrat mungkin malaikat utusan tuhan untuk sekedar memberi tahu pada si pemenang taruhan, bahwa uang judi tidak halal. Bahwa segala hal yang diperoleh secara instant akan segera lenyap menguap. Juga ada selentingan kabar bahwa malaikat itu memilih area yang kini seperti lautan lumpur itu karena di sana ada pabrik minuman keras. Lumpur yang menelan pabrik itu adalah malaikat utusan tuhan untuk memberitahu pada pengelola pabrik bahwa minuman keras adalah haram dan semua usaha yang membuat orang lain lupa diri dan mabuk, bisa mendapat ganjaran sangat keras.

Lalu, apa hubungannya dengan kita? Bisa jadi kita juga sedang didatangi malaikat utusan tuhan untuk memberi peringatan tentang kesalahan kita selama ini. Bentuknya mungkin bukan lumpur yang luapannya tak juga bisa ditahan. Mungkin bentuknya adalah musibah-musibah kecil dan kesialan yang kita alami sehari-hari. Lalu apa kita lebih suci daripada masyarakat di sekitar luapan lumpur? Tidak ada jaminan untuk itu. Kalau kita belum juga didatangi lumpur hingga kini, itu karena tuhan masih bersabar terhadap kita. Lagipula, cepat atau lambat jasad kita kelak akan masuk liang lahat, menyatu dengan tanah dan cacing-cacing. Kita hanya sedang diuji, apakah kita menyadari keberadaan lumpur dalam diri kita.

Allahu'alam

Say it with Flowers

Pernah mengamati bunga? Iya, bunga yang menjadi bagian dari tumbuhan, bukan bunga dalam arti kiasan semacam bunga riba atau bunga tabungan. Pernah memperhatikan mereka, tak sekedar melihat sepintas saja, tapi mengamati dengan sungguh-sungguh bentuk, rupa, dan warnanya?

Nah, di halaman rumah tempat aku tinggal tumbuh banyak jenis bunga. Yang terbanyak dari jenis anggrek. Jenis lainya aku tak hafal namanya. Tapi ternyata aku tak sanggup menyebutkan namanya satu persatu. Anggrek yang berjenis-jenis itu cukup aku sebut sebagai: anggrek. Kenyataan ini membuktikan bahwa aku juga jarang mengamati bunga. Nah, kalau aku sendiri tak tahu apa-apa tentang bunga, lantas kenapa aku posting catatan ini? Begini ceritanya.
Ternyata, setelah aku baca-baca di beberapa situs internet, tiap jenis bunga punya makna simbolis tersendiri, terutama di kalangan masyarakat Barat. Contohnya saja bunga mawar merah melambangkan "hasrat cinta yang membara". Lalu ada mawar kuning yang berarti "sedang sendiri". Masih banyak arti bunga yang lain yang tak lagi aku ingat satu per satu. Asosiasi ini sering dipakai untuk memanfaatkan bunga sebagai sarana menyampaikan sesuatu. "Say it with flowers" begitu pameo yang sering kita dengar. Termasuk yang pernah memanfaatkan bunga ini untuk "say it with flowers" adalah diriku.

Kali pertama aku mengatakan sesuatu dengan bunga adalah ketika isteriku wisuda di kampus STT Telkom tahun 2003. Sebenarnya aku sedang di Malang saat itu. Aku memanfaatkan kebaikan hati Wied untuk membelikannya untukku sekaligus mengirimkan ke alamat isteriku di Bandung. Tentu saja kebodohanku membuat ucapan selamat hanya terkirim lewat secarik kertas, bukan tersampaikan secara simbolis lewat jenis bunganya. Sebab aku memang tak tahu jenis bunga dan makna simbolisnya. Kali kedua, adalah ketika isteriku ulang tahun, bulan november 2005. Ini juga ada cerita tersendiri.

Saat itu, aku baru setahun tinggal di Tangerang. Aku tak tahu peta, lokasi dan tempat-tempat penjualan bunga di Serpong. Tapi aku ingat bahwa di daerah Pasar Lama Tangerang (satu jam naik angkot dari rumah) ada kios florist. Sehari sebelum ulang tahun isteriku, aku sudah hunting bunga mawar. Tentu saja aku tak mengatakan dengan jujur ketika isteriku menanyakan aku mau ke mana. Sebab aku ingin bikin kejutan dengan meletakkan bunga dan sehelai puisi di kamar besok pagi tanpa sepengetahuan isteriku.

Maka aku membawa bunga dengan hati-hati agar tidak rusak, lalu meletakkan di bawah tempat tidur. Aku menyiapkan segelas air sebagai vas bunga agar mereka tak layu besok pagi dan berupaya sekuat tenaga agar mereka tak terlihat oleh isteriku hingga besok pagi. Lalu aku memikirkan kata-kata yang akan kurangkai menjadi puisi (yang ternyata baru bisa kutuliskan esok paginya).

Keesokan harinya, senua berjalan sesuai rencana. Walaupun aku tak tahu arti simbolis dari bunga yang aku berikan, tapi isteriku sepertinya senang dengan kado kecilku itu. Sebenarnya aku tak tahu apa asosiasi orang terhadap bunga mawar merah muda. Tapi kalau kita amati, bentuknya memang indah ditambah dengan warna jambonnya yang menyiratkan kesegaran. Aku sih berharap, mawar jambon itu akan sampai ke benak isteriku dalam bentuk pesan: "Rasa sayangku padanya selalu aku segarkan kembali, sesegar warna merah muda pada mawar yang aku berikan padanya." Aku tak peduli jika ternyata orang lain (terutama orang barat) punya asosiasi yang berbeda dengan anggapanku tentang mawar merah muda ini. Biarlah dia tahu bahwa puisi dan bunga yang aku berikan mewakili sebagian perasaanku padanya. Memang tak mungkin dua hal tadi mewakili seluruhnya, sebab cinta memang wilayah tanpa kata. Tapi setidaknya dia percaya, bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya.

9/04/2006

Skenario Menghadapi Kematian

Minggu malam aku dan istriku mengikuti pengajian bulanan di Mushola al Hidayah, sektor 1.3 BSD. Temanya sama dengan judul tulisan ini. Pemmbawa materinya Ust. Limpad dari LMT Trustco.

Acaranya cukup menarik, meskipun ada gangguan di sana sini dari anak-anak kecil yang terus berlarian sepanjang acara. Apalagi menjelang bulan Ramadhan, acara ini bisa menjadi sarana Muhasabah. Kita diingatkan lagi bahwa kematian bisa datang kapan saja dan tiap orang diwajibkan oleh Allah untuk menyiapkan dirinya masing-masing untuk membawa bekal bagi kehidupan sesudah mati. Bukankah Ramadhan juga bulan muhasabah? (man shama ramadhana imanan wahtisaban...)

Dalam acara itu, Ustadz Limpad mengajak peserta membuat skenario berupa perkiraan rentang umur yang diharapkan masih tersisa. Misalkan, si A diminta menyebutkan umur berapa dia merasa akan siap untuk mati. Lalu dihitung dari usianya sekarang, berapa tahun yang masih tersisa. Kemudian si A bisa melakukan perencanaan untuk mengisi tahun yang tersisa sebelum dia mati dan menghitung apakah sisa waktu yang ada akan mencukupi bagi pengumpulan bekal amal bagi akhirat nanti.

Ini memang bukan upaya mendahului takdir Allah, karena kematian bisa saja datang nanti sore. Ini cuma mengingatkan bahwa kita butuh bekal untuk bisa selamat di akhirat dengan cara membuat rencana-rencana sesuai usia hidup yang kita perkirakan masih tersisa. Tentu saja rencana bisa meleset dan kita mengalami kegagalan. Tapi justru itu masalahnya: dengan membuat rencana saja kita masih bisa gagal apalagi jika tidak punya rencana!!!

Yang menarik meman pada saat Ustadz Limpad bertanya pada seorang peserta, "Umur berapa Anda siap mati?" Pertanyaan ini kemudian bergulir kepada keluarganya, apakah menurut mereka si A ini sudah siap jika mati di usia seperti yang telah disebutkan tadi.

Jujur saja, aku sendiri pasti akan tercenung kalau ditanya, "Umur berapa Anda siap mati?" Karena kita memang tidak tahu, apakah saat itu kita sedang dalam berada di jalan kebaikan hingga meraih khusnul khotimah atau sedang bermaksiat kepada Allah? Pertanyaan ini harusnya mampu membuat orang tersadar untuk menyiapkan bekal amal, bahwa segala yang ada di dunia ini akan kita tinggal.

Allahu'alam